Haul, Yasinan dan Tahlilan Bid'ahkah ?
- ..
Kebiasaan
mengadakan haul (yang intinya hendak mengirim hadiah bacaan-bacaan Al
Qur'an, tahlil, dan doa-doa kepada mayit) dengan disesuaikan pada
hitungan hari-hari tertentu mengandung dua substansi permasalahan.
Pertama,
sampai tidaknya ganjaran yang dihadiahkan kepada almarhum.
Kedua,
menepatkan acara pada hitungan hari-hari tertentu, misal ke-7, ke-40,
ke-100, ke-1000, dan mengulang tiap tahunnya, apakah seperti ini
bid'ah?
Yang
pertama, sampai tidaknya ganjaran yang dikirim kepada si mayit,
sebagian besar ulama keempat mazhab (Malikiyah, Hanafiyah,
Syafi'iyah, dan Hanbaliyah) berpendapat sampainya ganjaran
bacaan-bacaan baik Al Qur'an, tahlil, dan doa-doa lainnya. Bahkan
amal apa saja yang baik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
SWT, seperti bersedekah, infaq, dll, bila diniatkan ganjarannya untuk
orang yang telah meninggal, ganjaran itu akan sampai dan bermanfaat
bagi si mayit.
Pendapat-pendapat
itu didasarkan pada ayat-ayat dan hadits:
- Ayat ke 10 surat al-Hasyr.
- Ayat ke 19 surat Muhammad.
- Hadits: Kematian seseorang menyebabkan terputusnya segala amal perbuatannya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakannya. (HR. Muslim).
- Hadits: Barang siapa menziarahi qubur kedua orang tuanya, lantas membacakan untuk keduanya surat Yasin, maka terampuni kedua orang tuanya." (HR. Ibnu 'Addiy).
- Hadits kisah seseorang yang tanya kepada Nabi: "Saat kedua orang tuaku masih hidup saya selalu memuliakannya, lantas bagaimana saya bisa berbuat baik/memulyakannya setelah wafatnya?." Dijawab oleh Nabi: "Kamu bisa memulyakannya dengan menghadiahkan pahala sholat-sholatmu dan pahala puasa-puasamu." (HR. al-Daaruquthniy).
- Hadits: "Bacakanlah untuk ahli kubur kalian surat Yasin" (HR. Abu Dawud).
Mengenai
persoalan yang kedua, soal waktu, yakni kenapa ditepatkan pada hari
ke-7, ke-40, dst.
Mula-mula
harus kita bahas dulu "apa itu bid'ah". Definisi bid'ah
yang paling terkenal di kalangan ulama adalah yang diberikan oleh
Imam al-Syatibiy, yaitu "suatu tata cara di dalam agama yang
diciptakan untuk menandingi (tata cara beribadah yang sesuai)
syari'ah.
Untuk
menguji apakah tahlilan pada hari-hari ke-7, ke-40, dst itu termasuk
bid'ah atau tidak bisa melalui daftar pertanyaan-pertanyaan berikut:
"apakah perbuatan menyesuaikan acara pengiriman bacaan Qur'an,
tahlil, doa, dan lain-lain dengan hitungan hari tertentu itu termasuk
rangkaian ibadah?" Ataukah itu hanya sekedar kebiasaan saja,
jadi tidak termasuk rangkaian ritual 'tahlilan' itu sendiri? Atau
lebih tepatnya: saat melaksanakan acara tahlilan itu adakah keyakinan
"bahwa acara itu harus dilakukan pada hari-hari ke-7, ke-40,
ke-100, dst, sehingga seandainya dilakukan di luar hari-hari itu
menjadi tidak sah?
Menurut
saya, penentuan pelaksanaan tahlilan pada hitungan hari-hari tertentu
itu tidak termasuk bagian tak terpisahkan dari ritual tahlilan itu
sendiri. Itu hanya berdasar kebiasaan saja, tidak bagian inhern dari
ibadah pengiriman ganjaran bacaan dan doa, sehingga seandainya
dilaksanakan di luar hari-hari itu tetap saja sah.
Orang-orang
yang tahu, tetap berpendirian bahwa tindakan menyesuaikan acara
tahlilan pada hari-hari tertentu itu tidak merupakan bagian atau
suatu bentuk ibadah. Karena ibadahnya hanyalah tahlilannya itu
sendiri. Jika demikian, maka tindakan menyesuaikan itu tentu tidak
bisa dianggap sebagai bid'ah.
Wallahu a'lam bishshawab,
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Ass. Wr. Wb.
Adanya perbedaan dalam Islam, sebenarnya tidak perlu dipertajam. Sebab dengan memperuncing perbedaan itu tak ubahnya seseorang yang suka menembak burung di dalam sangkar. Padahal terhadap Al-Qur’an sendiri memang terjadi ketidak samaan pendapat. Oleh sebab itu, apabila setiap perbedaan itu selalu dipertentangkan, yang diuntungkan tentu pihak ketiga. Atau mereka sengaja mengipasi ? Bukankah menjadi semboyan mereka, akan merayakan perbedaan ? Hanya semoga saja jika pengomporan dari dalam, hal itu bukan kesengajaan. Kalau tidak, akhirnya perpecahan yang terjadi.
Apabila perbedaan itu memang kesukaan Anda, salurkan saja ke pedalaman kepulauan nusantara. Disana masih banyak burung liar beterbangan. Jangan mereka yang telah memeluk Islam dicekoki khilafiyah furu’iyah. Bahkan kalau mungkin, mereka yang telah beragama tetapi di luar umat Muslimin, diyakinkan bahwa Islam adalah agama yang benar. Sungguh berat memang.
Ingat, dari 87 % Islam di Indonesia, 37 % nya Islam KTP, 50 % penganut Islam sungguhan. Dari 50 % itu, 20 % tidak shalat, 20 % kadang-kadang shalat dan hanya 10 % pelaksana shalat. Apabila dari yang hanya 10 % yang shalat itu dihojat Anda dengan perbedaan, sehingga menyebabkan ragu-ragu dalam beragama yang mengakibatkan 9 % meninggalkan shalat, berarti ummat Islam Indonesia hanya tinggal 1 %.
Terhadap angka itu Anda ikut berperan, dan harus dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT. Astaghfirullah.
Wass. Wr. Wb.
hmjn wan@gmail.com