Hukum Meninggalkan Shalat Wajib 5 Waktu
- ..
Telah
kita ketahui kesepakatan ulama tentang kafirnya orang yang menentang
kewajiban shalat. Namun, bagi yang meninggalkannya karena malas,
terlebih lagi ia masih mengimani bahwa shalat itu amalan yang
disyariatkan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, antara yang
mengkafirkan dengan yang tidak mengkafirkan dan apakah ia dibunuh
atau tidak.
Masalah
hukum orang yang meninggalkan shalat ini memang merupakan masalah
khilafiyyah sejak zaman dahulu di kalangan salaful ummah, dan
perselisihannya teranggap (mu’tabar). Oleh karena itu, janganlah
kita gegabah menuduh orang yang menyelisihi pendapat kita dalam hal
ini, semisal kita mengatakannya Murji` (pengikut pemahaman Murji`ah,
karena tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat) atau
menvonisnya dengan Khariji (pengikut pemahaman Khawarij, karena
mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat). Hukum asal dalam hal
khilaf yang mu’tabar adalah seseorang tidak boleh mengingkari
pendapat orang lain dan mencelanya.
Mencela
seseorang karena mengikuti pendapat ulama dari kalangan salaf (para
imam yang dikenal) sama dengan mencela ulama salaf tersebut. Karena
itu sekali lagi kita tegaskan, janganlah kita memboikot dan mencela
saudara kita dalam permasalahan-permasalahan yang kita dapati para
ulama kita juga berbeda pendapat di dalamnya. Memang masalah fiqih
yang seperti ini, kita dapati para ulama sering berbeda pendapat, dan
mereka pun melapangkan bagi saudaranya selama permasalahan itu memang
dibolehkan/ dilapangkan untuk berijtihad.
Asy-Syaikh
Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin t menyatakan bahwa permasalahan
meninggalkan shalat ini termasuk permasalahan yang sangat besar yang
pada hari ini banyak orang terjatuh di dalamnya (ditimpa musibah
dengan tidak menunaikannya). Dan ulama beserta para imam dari
kalangan umat ini, yang dahulu maupun sekarang, berselisih pendapat
tentang hukumnya. (Mukaddimah kitab Hukmu Tarikish Shalah hal. 3)
Orang
yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja berarti ia telah
melakukan dosa yang teramat besar. Dosanya di sisi Allah lebih besar
daripada dosa membunuh jiwa yang tidak halal untuk dibunuh, atau dosa
mengambil harta orang lain secara batil, atau dosa zina, mencuri dan
minum khamr. Meninggalkan shalat berarti menghadapkan diri kepada
hukuman Allah dan kemurkaan-Nya. Ia akan dihinakan oleh Allah baik di dunia maupun di akhirat. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha,
Ibnul Qayyim, hal. 7).
Tentang
hukuman di akhirat bagi orang yang menyia-nyiakan shalat dinyatakan
Allah dalam firman-Nya:
“Apakah
yang memasukkan kalian ke dalam neraka Saqar?” Mereka menjawab,
“Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat….”
(Al-Muddatstsir: 42-43).
“Maka
celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari
mengerjakan shalatnya….” (Al-Ma’un: 4-5).
“Maka
datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan
menemui kerugian2.” (Maryam: 59).
Abdullah
bin Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Hubaib dari kalangan Malikiyyah
berpendapat kafir orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja
walaupun ia tidak menentang kewajiban shalat. Pendapat ini
dihikayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Al-Hakam
bin ‘Uyainah. Sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i juga
berpendapat demikian. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Nailul
Authar, 2/403).
Mereka
berargumen dengan firman Allah :
“Apabila
telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di
mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah
mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada
mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (At-Taubah: 5).
Dalam
ayat di atas Allah menetapkan harus terpenuhinya tiga syarat
barulah seorang yang tadinya musyrik dibebaskan dari hukuman bunuh
sebagai orang kafir yaitu bertaubat, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat. Bila tiga syarat ini terpenuhi berarti ia telah
menjadi seorang muslim yang terpelihara darahnya. Namun bila tidak,
ia bukanlah seorang muslim. Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan
shalat dengan sengaja, tidak mau menunaikannya, berarti tidak
memenuhi syarat untuk dibiarkan berjalan, yang berarti ia boleh
dibunuh.
Argumen
mereka dari hadits adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,
“Aku pernah mendengar Nabi bersabda:
“Sesungguhnya
antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan
shalat.” (HR. Muslim no. 242).
Demikian
pula hadits Buraidah ibnul Hushaib, ia berkata, “Rasulullah
bersabda:
“Perjanjian
antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang
meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Ahmad 5/346,
At-Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan selainnya. Dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 574
dan juga dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib hal. 299) [Tharhut
Tatsrib, 1/323].
Dalam
dua hadits di atas dinyatakan secara umum “meninggalkan shalat”
tanpa ada penyebutan “meninggalkan karena menentang kewajibannya”.
Berarti ancaman dalam hadits diberlakukan secara umum, baik bagi
orang yang meninggalkan shalat karena menentang kewajibannya atau pun
tidak.
Seorang
tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq berkata:
“Adalah
para sahabat Rasulullah tidak memandang adanya sesuatu dari
amalan-amalan yang bila ditinggalkan dapat mengkafirkan pelakunya
kecuali amalan shalat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2622, dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, demikian pula
dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 562).
Abdullah
menyebutkan bahwa para sahabat sepakat ‘orang yang meninggalkan
shalat itu kafir’ dan mereka tidak mensyaratkan ‘harus disertai
dengan pengingkaran akan kewajibannya’ atau ‘menentang kewajiban
shalat’. Karena yang mengatakan shalat itu tidak wajib, jelas
sekali kekafirannya bagi semua orang. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj
2/257, Tharhut Tatsrib 1/323, Nailul Authar 2/403)
Sementara
itu, dinukilkan pula pendapat mayoritas ulama yang memandang tidak
atau belum kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara sengaja.
Al-Imam Abdul Haq Al-Isybili dalam kitabnya Ash Shalah wat Tahajjud
(hal. 96) menyatakan, “Seluruh kaum muslimin dari kalangan Ahlus
Sunnah, baik ahli haditsnya maupun selain mereka, berpendapat bahwa
orang yang meninggalkan shalat secara sengaja dalam keadaan ia
mengimani kewajiban shalat dan mengakui/menetapkannya, tidaklah
dikafirkan. Namun dia telah melakukan suatu perbuatan dosa yang amat
besar. Adapun hadits Nabi yang secara zhahir menyebutkan kafirnya
orang yang meninggalkan shalat, demikian pula ucapan ‘Umar dan
selainnya, mereka takwil sebagaimana mereka mentakwil sabda Nabi :
“Tidaklah
seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman saat melakukan
perbuatan zina tersebut.”
Demikian
pula hadits-hadits lain yang senada dengan ini. Adapun ahlul ilmi
yang berpendapat dibunuhnya orang yang meninggalkan shalat, hanyalah
memaksudkan ia dibunuh sebagai hukum had, bukan karena ia kafir.
Demikian pendapat ini dipegangi oleh Al-Imam Malik, Asy Syafi’i,
dan selain keduanya.”
Al-Hafizh
Al-‘Iraqi t berkata, “Jumhur ahlul ilmi berpendapat tidak
kafirnya orang yang meninggalkan shalat bila memang ia tidak
menentang kewajibannya. Ini merupakan pendapat para imam: Abu
Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan juga satu riwayat dari Al-Imam
Ahmad bin Hambal. Terhadap hadits-hadits yang shahih dalam masalah
hukum meninggalkan shalat ini, mereka menjawab dengan beberapa
jawaban, di antaranya:
Pertama:
Makna dari hadits-hadits tersebut adalah orang yang meninggalkan
shalat pantas mendapatkan hukuman yang diberikan kepada orang kafir
yaitu dibunuh.
Kedua:
Vonis kafir yang ada dalam hadits-hadits tersebut diberlakukan kepada
orang yang menganggap halal meninggalkan shalat tanpa udzur.
Ketiga:
Meninggalkan shalat terkadang dapat mengantarkan pelakunya kepada
kekafiran, sebagaimana dinyatakan bahwa ‘perbuatan maksiat adalah
pos kekafiran’.
Keempat:
Perbuatan meninggalkan shalat adalah perbuatan orang-orang kafir.”
(Tharhut Tatsrib, 1/324-325).
Dalil
yang dipakai oleh jumhur ulama adalah firman AllahSWT. :
“Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan-Nya dengan sesuatu (syirik)
dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (An-Nisa`: 48).
Sementara
tidak mengerjakan shalat bukan perbuatan syirik, namun salah satu
perbuatan dosa besar yang Allah janjikan untuk diberikan
pengampunan bagi siapa yang Allah kehendaki.
Juga
hadits-hadits yang banyak, di antaranya hadits ‘Ubadah ibnush
Shamit dari Rasulullah :
“Shalat
lima waktu Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Siapa yang
mengerjakannya tanpa menyia-nyiakan di antara kelima shalat tersebut
karena meremehkan keberadaannya maka ia mendapatkan janji dari sisi
Allah untuk Allah masukkan ke surga. Namun siapa yang tidak
mengerjakannya maka tidak ada baginya janji dari sisi Allah, jika
Allah menghendaki Allah akan mengadzabnya, dan jika Allah menghendaki
maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Abu Dawud no. 1420 dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud).
Hadits
Abu Hurairah dari Nabi :
“Amalan
yang pertama kali dihisab dari seorang hamba nanti pada hari kiamat
adalah shalat wajib. Jika ia sempurnakan shalat yang wajib tersebut
maka sempurna amalannya, namun jika tidak dikatakanlah, ‘Lihatlah,
apakah orang ini memiliki amalan tathawwu’ (shalat sunnah)?’ Bila
ia memiliki amalan tathawwu’, disempurnakanlah shalat wajib yang
dikerjakannya dengan shalat sunnahnya. Kemudian seluruh amalan yang
difardhukan juga diperbuat semisal itu.” (HR. Ibnu Majah no. 1425
dan lainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
Ibni Majah dan Al-Misykat no. 1330-1331).
Demikian
pula hadits dalam Ash-Shahihain yang dibawakan oleh ‘Ubadah ibnush
Shamit dari Nabi n, beliau bersabda:
“Siapa
yang mengucapkan, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
benar kecuali hanya Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, ‘Isa adalah
hamba Allah, putra dari hamba perempuan Allah, kalimat-Nya yang Dia
lontarkan kepada Maryam dan ruh ciptaan-Nya, dan surga itu benar
adanya, neraka pun adanya’, maka orang yang bersaksi seperti ini
akan Allah masukkan ke dalam surga apa pun amalannya.” (HR.
Al-Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 139).
Dalam
satu riwayat Al-Imam Muslim (no. 141) dibawakan sabda Rasulullah :
“Siapa
yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya
Allah saja dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah, maka Allah
haramkan neraka baginya.”
Selain
itu, banyak didapatkan dalil yang menunjukkan tidak kekalnya seorang
muslim yang masih memiliki iman walau sedikit di dalam neraka, bila
ia telah mengucapkan syahadatain, seperti hadits Anas bin Malik
berikut ini. Anas berkata, “Rasulullah bersabda:
“Akan
dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah
dan di hatinya ada kebaikan (iman) seberat sya’ir (satu jenis
gandum). Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan
laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat burrah (satu
jenis gandum juga). Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang
mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat
semut yang sangat kecil.” (HR. Al-Bukhari no. 44 dan Muslim no.
477).
Ulama
yang berpandangan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat
tidaklah kemudian membebaskan pelakunya dari hukuman atau
meringan-ringankan hukumannya. Bahkan sebaliknya, hukuman berat
dijatuhkan sebagaimana yang akan kita baca dalam keterangan berikut
ini.
Ibnu
Syihab Az-Zuhri, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz,
Abu Hanifah, Dawud bin ‘Ali dan Al-Muzani berpendapat, orang yang
meninggalkan shalat karena malas, tidaklah divonis kafir, namun
fasik. Ia harus ditahan atau dipenjara oleh pemerintah muslimin dan
dipukul dengan pukulan yang keras sampai darahnya bercucuran. Hukuman
ini terus ditimpakan padanya sampai ia mau bertaubat dan mengerjakan
shalat atau sampai mati dalam penjara. Hukuman bunuh tidak sampai
dijatuhkan padanya kecuali bila ia menentang kewajiban shalat, karena
ada hadits Ibnu Mas’ud dari Nabi berikut ini:
“Tidak
halal ditumpahkan darah seseorang yang bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja dan ia
bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali salah satu dari tiga
golongan, yaitu seseorang yang sudah/pernah menikah melakukan
perbuatan zina, karena jiwa dibalas jiwa (seseorang membunuh orang
lain maka balasannya ia diqishash/dibunuh juga), dan orang yang
meninggalkan agamanya, berpisah dengan jamaahnya kaum muslimin.”
(HR. Al-Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 4351). [Al-Majmu’ 3/19,
Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 7-8].
Dalam
hadits di atas tidak disebutkan hukum bunuh untuk orang yang
meninggalkan shalat. (Al-Minhaj, 2/257).
Madzhab
Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan shalat tanpa ada udzur, ia diminta bertaubat dari
perbuatannya. Bila tidak mau bertaubat maka dibunuh dengan cara
dipenggal dengan pedang menurut pendapat jumhur. Namun hukuman
bunuh ini dijatuhkan sebagai hukum had baginya bukan dibunuh karena
kafir. Setelah meninggal, ia dikafani, dishalati, dan dikuburkan di
pemakaman muslimin. (Al-Majmu’ 3/17, Al-Minhaj 2/257, Nailul
Authar, 2/403).
Dari
keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa
(22/40-53) sehubungan dengan perkara shalat ini, tampak bahwa beliau
membagi manusia menjadi empat macam:
Orang
yang menolak untuk mengerjakan shalat sampai ia dibunuh, sementara di
hatinya sama sekali tidak ada pengakuan akan kewajiban shalat dan
tidak ada keinginan untuk mengerjakannya. Orang ini kafir menurut
kesepakatan kaum muslimin.
Orang
yang terus-menerus meninggalkan shalat sampai meninggalnya, sama
sekali ia tidak pernah sujud kepada Allah. Ia pun tidak mengakui
kewajibannya maka orang ini pun kafir.
Orang
yang tidak menjaga shalat lima waktu, ini adalah keadaan kebanyakan
manusia. Sekali waktu ia mengerjakan shalat, pada kali lain ia
meninggalkannya. Orang yang keadaannya seperti ini berada di bawah
kehendak Allah. Jika Allah menghendaki akan diadzab, kalau tidak
maka Allah akan mengampuninya. Dalilnya adalah hadits ‘Ubadah
ibnush Shamit yang telah disebutkan di atas.
Kaum
mukminin yang menjaga shalat mereka. Inilah yang mendapat janji untuk
masuk surga Allah.
Dari
perbedaan pendapat yang ada, penulis sendiri lebih condong pada
pendapat yang menyatakan tidak kafir. Dan inilah pendapat yang
menenangkan hati kami, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Al-Imam
An-Nawawi berkata ketika menguatkan pendapat ini, “Terus-menerus
kaum muslimin saling mewarisi dengan orang yang meninggalkan shalat
(dari kalangan kerabat mereka). Seandainya orang yang meninggalkan
shalat itu kafir dan tidak akan diampuni dosanya, tentu tidak boleh
mewarisi dan tidak mewariskan harta kepada kerabatnya. Adapun jawaban
argumen yang dibawakan oleh yang berpendapat kafirnya orang yang
meninggalkan shalat dengan hadits Jabir, hadits Buraidah dan riwayat
Abdullah ibnu Syaqiq, adalah bahwa hadits-hadits tersebut dibawa
maknanya kepada orang yang meninggalkan shalat akan menjadi serikat
bagi orang kafir dalam sebagian hukum yang diberlakukan kepadanya,
yaitu ia wajib/harus dibunuh. Dengan takwil ini terkumpullah
nash-nash syariat dan kaidah-kaidah yang telah disebutkan.”
(Al-Majmu’, 3/19).
Al-Imam
Al-Albani t menyatakan, “Aku berpandangan bahwa yang benar adalah
pendapat jumhur. Adapun riwayat yang datang dari sahabat bukanlah
nash yang memastikan bahwa yang mereka maksudkan dengan kufur adalah
kufur yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka….”
(Ash-Shahihah, 1/174).
Wallahu
ta’ala a’lam bish-shawab.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer