Tayammum
- ..
Seluruh
ulama sepakat bahwa pada saat tidak ditemukan air untuk berwudhu'
atau mandi janabah, maka tayammum dibolehkan untuk dijadikan sebagai
pengganti atau badal (بدل).
Namun
para ulama berbeda pendapat tentang jenis penggantian tayammum
terhadap wudhu' atau mandi, apakah pengganti yang bersifat darurat
dan sementara? Ataukah pengganti yang bersifat mutlak atau permanen.
1.
Pengganti Darurat
Jumhur
ulama di antaranya Mazhab Al-Malikiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah dan
mazhab Al-Hanabilah sepakat bahwa tayammum adalah pengganti bersuci,
baik wudhu atau mandi janabah, yang sifatnya hanya darurat saja.
Dalam
pandangan jumhur ulama, tayammum pada hakikatnya tidak mengangkat
hadats, tetapi hanya sekedar membolehkan shalat saja untuk sementara
waktu karena darurat.
Konsekuensi
dari sifat tayammum adalah cara bersuci yang hanya bersifat darurat
ini ada dua :
a.
Bila Ditemukan Air Maka Tayammum Tidak Berlaku
Bila
seseorang tidak menemukan air sehingga dia bersuci dengan cara
tayammum untuk shalat, lalu tiba-tiba turun hujan, maka tayammum yang
telah dikerjakannya menjadi gugur dengan sendirinya. Dia tidak boleh
mengerjakan shalat kecuali setelah berwudhu dengan air yang saat itu
sudah tersedia.
Lain
halnya bila shalat sudah ditunaikan dengan bertayammum, setelah itu
barulah air ditemukan, maka dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat tentang apakah shalat harus diulang atau tidak.
b.
Harus Selalu Mengulang Tayammum
Karena
tayammum hanya bersifat darurat, maka kesucian yang dihasilkan dengan
cara bertayammum bukan kesucian yang bersifat mutlak.
Maka
bila seseorang ingin mengerjakan shalat lagi, dia harus kembali
bertayammum lagi.
Hal
ini disamakan dengan wanita yang sedang mengalami istihadhah, yaitu
darah keluar terus dari kemaluannya, maka tiap kali mau mengerjakan
shalat, dia harus mencuci kemaluannya dengan air.
فَإِذَا
وَجَدْت الْمَاءَ فَأَمِسَّهُ جِلْدَك
فَإِنَّهُ خَيْرٌ لَك
Jika
dia mendapatkan air, maka kenakan pada kulitmu (saat berwudu), karena
pada hal itu terdapat kebaikan. (HR. Abu Daud)
Dan
juga ada atsar dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu :
مِنَ
السُّنَّةِ أَنْ لاَ يُصَلِّيَ الرَّجُل
بِالتَّيَمُّمِ إِلاَّ صَلاَةً وَاحِدَةً
ثُمَّ يَتَيَمَّمَ لِلصَّلاَةِ الأْخْرَى
Termasuk
bagian dari sunnah, agar seseorangtidak shalat dengan bertayammum
kecuali hanya satu kali shalat saja, kemudian hendalkan dia
bertayammum lagi untuk mengerjakan shalat yang lain. (HR.
Ad-Daruquthni)
Mazhab
Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa tidak boleh
mengerjakan dua shalat wajib hanya dengan sekali tayammum. Namun bila
yang dilakukan itu bukan shalat wajib melainkan shalat sunnah
(nafilah), hukumnya diperbolehkan.
Misalnya
shalat tarawih yang rakaatnya banyak dan berkali-kali salam, boleh
dikerjakan hanya dengan sekali tayammum.
Tetapi
dalam shalat jama', baik taqdim ataupun ta'khir, harus kembali
tayammum bila akan melakukan shalat yang kedua. Misalnya, seorang
ingin menjama' shalat Dzhuhur dengan shalat Ashar, maka yang harus
dia lakukan pertama kali adalah bertayammum, lalu shalat Dzhuhur.
Selesai salam, dia bertayammum lagi, untuk mengerjakan shalat Ashar.
Kenapa
harus bertayammum lagi?
Jawabnya
karena keduanya sama-sama shalat fardhu. Dan satu kali tayammum hanya
berlaku untuk sekali shalat fardhu.
Bila
shalat yang dilakukan dengan sekali tayammum itu terdiri dari shalat
fardhu dan shalat sunnah, maka menurut Mazhab Al-Malikiyah yang
dilakukan harus shalat fardhu terlebih dahulu. Jadi yang dibenarkan
adalah shalat Dhzuhur lalu shalat sunnah ba'diyah.
Namun
dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, tidak mengapa bila shalat sunnah
didahulukan dari shalat wajib. Dan juga tidak mengapa bila setelah
selesai dari shalat wajib kemudian shalat sunnah. Dengan demikian,
seorang yang hanya bertayammum boleh melakukan tiga shalat sekaligus,
yaitu shalat qabliyah, lalu shalat fardhu, lalu shalat ba'diyah.
Mazhab
Al-Hanabilah membuat batasan bahwa masa berlaku tayammum hanya
sebatas satu waktu shalat fardhu. Intinya, selama masih berada dalam
satu waktu shalat, misalnya Dzhuhur, dibolehkan bagi yang bertayammum
sekali untuk melaksanakan shalat apa saja, baik shalat sunnah, shalat
fardhu, bahkan dua shalat fardhu seperti shalat jama' juga tetap
diperbolehkan. Bahkan shalat-shalat fardhu yang terlewat (fawait),
juga boleh dikerjakan hanya dengan sekali tayammum saja.
Tetapi
ketika waktu shalat fardhu sudah habis dan masuk ke waktu shalat
fardhu yang lain, maka tayammum dengan sendirinya sudah expired atau
habis masa beralakunya. Untuk itu seseorang harus memperbaharui
tayammum dari awal lagi, untuk kepentingan di dalam waktu shalat
berikutnya.
c.
Belum Sah Tayammum Bila Belum Masuk Waktu
Para
ulama yang mendukung pendapat ini menegaskan bahwa tayammum hanya sah
dilakukan apabila waktu shalat telah masuk. Bila dilakukan sebelum
masuk waktu shalat, maka tayammum itu tidak sah, dan harus mengulangi
lagi.
Hal
ini berbeda dengan wudhu' yang boleh dilakukan kapan saja, meski pun
belum masuk waktu shalat. Seseorang boleh berwudhu' sejak waktu
Dhuha' untuk mengerjakan shalat Dhzhuhur, Ashar, Maghrib, Isya'
bahkan Shubuh. Yang penting, selama masa itu dia tidak melakukan
hal-hal yang sekiranya membatalkan wudhu'.
d.
Bila Bertayammum Lebih Utama Mengakhirkan Shalat
Jumhur
ulama, termasuk di dalamnya Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah,
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa dalam keadaan tidak ada
air dan alternatif untuk bisa mengerjakan shalat hanya dengan
tayammum, bahwa lebih baik shalat diakhirkan pengerjaannya, sampai
benar-benar yakin bahwa air memang tidak bisa didapat. Pada saat
terakhir itulah kemudian baru diputuskan untuk mengerjakan shalat
hanya dengan bertayammum.
Keutamaan
ini berlaku manakala masih ada harapan atau kemungkinan untuk bisa
mendapatkan air, apabila mau diusahakan dan mau bersabar.
Namun
bila sejak awal sudah ada kepastian bahwa sampai akhir waktu shalat
tidak mungkin bisa ditemukan air untuk berwudhu, maka yang diutamakan
adalah menyegerakan shalat meski hanya dengan bertayammum.
2.
Pengganti Mutlak
Sedangkan
pandangan Mazhab Al-Hanafiyah berbeda 180 derajat dengan pandangan
jumhur ulama. Mazhab ini memandang bahwa tayammum itu 100% adalah
pengganti wudhu dan tayammum. Hadats besar dan hadats kecil,
dua-duanya bisa diangkat secara permanen, cukup dengan tayammum,
asalkan syarat-syarat tayammum terpenuhi.
Konsekuensi
pandangan ini bila seseorang telah bertayammum dan hendak mengerjakan
shalat, lalu tiba-tiba turun hujan, dia tidak perlu lagi mengulangi
bersuci dengan cara berwudhu. Sebab pada dasarnya dia telah suci dari
hadats.
Demikian
juga orang yang shalat dengan bersuci lewat tayammum, bila akan
kembali melakukan shalat dan belum melakukan hal-hal yang membatalkan
wudhu, maka dia boleh langsung shalat, tanpa harus mengulangi lagi
dengan tayammum sebelumnya.
Dasar
pendapat mazhab Al-Hanafiyah ini adalah sabda Rasulullah SAW :
الصَّعِيدُ
الطَّيِبُ وُضُوءُ الْمُسْلِمِ وَلَوْ
إِلىَ عَشْرِ سِنِينَ
Tanah
yang baik adalah wudhu'-nya seorang muslim, meski pun sampai sepuluh
tahun. (HR. Ibnu Hibban)
Di
dalam hadits ini Rasulullah SAW dengan tegas menyebutkan bahwa tanah
yang baik, yaitu taayammum tidak lain adalah wudhu' itu sendiri.
Sehingga kedudukan tayammum sama dan sebangun dengan wudhu'. Apa yang
bisa dilakukan oleh wudhu', maka tentunya bisa dilakukan oleh
tayammum, termasuk masalah mengangkat hadats secara permanen.
Dalil
yang lain adalah sabda Rasulullah SAW juga :
عَنْ
أَبيِ أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ الله s
قَالَ :
جُعِلَتْ
الأَرْضُ كُلُّهَا ليِ وَلأِمَّتِي
مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيْنَمَا
أَدْرَكَتْ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي
الصَّلاَةُ فَعِنْدَهُ مَسْجِدُهُ
وَعِندَهُ طَهُوْرُهُ -
رواهما أحمد
Dari
Abi Umamah radhiyallahuanhu bahw Rasulullah SAW bersabda"Telah
dijadikan tanah seluruhnya untukkku dan ummatku sebagai masjid dan
pensuci. Dimanapun shalat menemukan seseorang dari umatku maka dia
punya masjid dan media untuk bersuci. (HR. Ahmad)
Dalam
hadits ini Rasulullah SAW tegas menyebutkan bahwa tanah itu berfungsi
sebagai sesuatu yang mensucikan atau thahur (طهور).
Artinya, tentu saja tayammum itu mengangkat hadats dan bukan sekedar
membolehkan shalat untuk sekali waktu saja.
Maka
konsekuensi dari pendapat ini menurut mazhab Al-Hanafiyah antara lain
:
Bila
Ditemukan Air Tidak Perlu Berwudhu Lagi
Tidak
Perlu Selalu Mengulang Tayammum
Tayammum
Sah Meski Belum Masuk Waktu
Lepas
dari mazhab mana yang kita pakai, terserah anda memilihnya. Yang
jelas para ulama memang berbeda pendapat dalam hal ini, setidaknya
pendapat mazhab Al-Hanafiyah berbeda dari pendapat jumhur ulama.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer