Mazhab
- ..
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اَللّهِ الرّحْمن الرّحيم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ
آللّهُمَ صَلّیۓِ ۈسَلّمْ عَلۓِ سَيّدنَآ مُحَمّدْ وَ عَلۓ آلِ سَيّدنَآ مُحَمَّدٍ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ
آللّهُمَ صَلّیۓِ ۈسَلّمْ عَلۓِ سَيّدنَآ مُحَمّدْ وَ عَلۓ آلِ سَيّدنَآ مُحَمَّدٍ
Seringkali
orang salah persepsi dalam memandang mazhab fiqih. Seolah mazhab-mazhab
itu pecahan umat untuk saling bertentangan dalam segala hal.
Padahal sesungguhnya munculnya mazhab itu boleh dibilang justru
sebagai sarana untuk memudahkan umat dalam memahami nash-nash syariah.
Sebab tidak semua orang mampu menarik kesimpulan hukum. Tidak semua
orang mampu untuk berijtihad sesuai dengan kaidahnya.
Bukhori Bermazhab Juga
Jangan dikira bahwa mazhab itu hanya untuk orang-orang awam saja, bahkan para ulama besar pun juga bermazhab. Di dalam kitab Al-Imam Asy-Syafi'i bainal mazhabaihil Qadim wal Jadid,
Dr. Nahrawi Abdussalam menuliskan bahwa di antara para pengikut mazhab
Syafi'i adalah Al-Imam Al-Bukhari, seorang tokoh ahli hadits yang
kitabnya tershahih di dunia setelah Al-Quran.
Al-Bukhari memang tokoh ahli hadits dan paling kritis dalam
menyeleksi hadits. Namun beliau bukan ahli ijtihad yang mengistimbath
hukum sendiri sampai setingkat mujtahid mutlak. Dalam masalah menarik
kesimpulan hukum, beliau menggunakan metodologi yang digunakan dalam
mazhab Syafi'i. Dengan demikian beliau adalah salah satu ulama besar
yang bermazhab, yaitu mazhab Syafi'i.
Ada juga di antara murid mazhab As-Syafi'i yang kemudian naik
derajatnya sampai mampu menciptakan metodologi istimbath sendiri,
sehingga beliau kemudian mendirikan sendiri mazhabnya, yaitu Imam Ahmad
bin Hanbal. Marahkah As-Syafi'i mengetahui muridnya mendirikan mazhab
sendiri? Beliau berkomentar, "Aku tinggalkan Baghdad dan tidak ada orang
yang lebih faqih dari Imam Ahmad bin Hanbal."
Kalau saja jumlah nash-nash syariah itu hanya 6.000-an ayat Quran
plus 5.000-an hadits shahih Bukhari, tentu saja mudah sekali buat setiap
orang untuk beragama. Tetapi ketahuilah bahwa bahwa nash-nash syariat
jauh lebih banyak dari semua itu. Al-Quran memang hanya 6.000-an ayat
saja, tapi bagaimana dengan hadits nabawi? Apakah hadits itu hanya
shahih bila Bukhari saja yang mengatakannya? Tentu saja tidak, sebab
imam Bukhari itu hanya satu dari sekian ratus atau sekian ribu muhaddits
yang ada di dunia ini. Salah besar bila kita beranggapan hanya hadits
Bukhari saja yang benar dan semua hadits selain yang terdapat dalam
kitab shahihnya harus ditolak.
Ini baru dari sisi jumlah sumber nash syariah, padahal masalah hukum
agama ini tidak semata-mata ditentukan oleh nash-nash saja, namun lebih
jauh dari itu, setiap nash itu masih harus diteliti kekuatan derajatnya,
lalu dikomparasikan antara satu dengan lainnya.
Mengapa harus demikian?
Sebab begitu banyak nash-nash syariah itu yang sekilas antara satu
dengan yang lain saling berbeda, bukan hanya redaksinya tetapi sampai
pada masalah esensinya. Bayangkan, ada dua nash yang sama-sama shahih,
keduanya tercantum di dalam kitab Shahih Bukhari, tapi yang satu
mengatakan haram dan yang lain bilang halal. Kalau sudah demikian, kita
akan bilang apa?
Tentu perlu sebuah kajian mendalam dari segala sisi, serta kemampuan
khusus dalam melakukannya. Minimal orang yang melakukan kajian ini punya
kemampuan untuk berijtihad sampai pada tingkat tertentu. Dan harus ada
logika yang kuat untuk bisa mengatakan kesimpulan akhirnya, apakah
hukukmnya halal atau haram.
Lalu kepada siapakah kita menyerahkan masalah ini? Adakah suatu dewan
pakar yang mau mengerjakanannya dengan teliti, cermat dan lengkap?
Jawabnya, para ulama mazhab-mazhab itulah yang telah berjasa besar
untuk melakukan 'mega proyek' itu. Dan mereka -alhamdulillah- adalah
orang-orang yang shalih, pakar, ahli, jenius serta ikhlas, karena tidak
pernah minta bayaran.
Masa perkembangan mazhab-mazhab besar dunia fiqih dimulai pada
kira-kira setengah abad setelah kepergian nabi SAW, yaitu sejak tahun 97
Hijriyah. Ditandai dengan kelahiran Imam Mazhab pertama yaitu Abu
Hanifah rahimahullah, yang telah berhasil memadukan antara dalil
nash Quran dan sunnah sesuai dengan logika nalar hukum. Kemudian diikuti
oleh Imam Malik, Imam As-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.
Mereka semua adalah guru dari umat Islam, karena merekalah yang telah
berjasa melakukan isitmbath hukum dari Al-Quran dan Sunnah, sehingga bisa
menguraikan hukum-hukum Islam secara detail, rinci, lengkap, bahkan
meliputi semua aspek kehidupan.
Bahkan mereka telah meletakkan dasar-dasar istimbath hukum, yang
kemudian menjadi modal sekaligus model bagi seluruh ulama di dunia untuk
melakukannya. Nyaris boleh dibilang bahwa tidak ada ulama yang mampu
melakukan istimbath hukum yang berbeda, kecuali menggunakan salah satu
metode yang telah mereka rintis.
Karena itulah keempat mazhab mereka tetap bertahan sampai ribuan
tahun, bahkan berhasil menjadi sebuah disiplin ilmu yang abadi sepanjang
zaman.
Perbedaan Mazhab
Namun yang menarik, meski masing-masing punya metode istimbath hukum
yang terkadang berbeda, tetapi sebenarnya hubungan anter personal di
antara mereka sangat dekat. Jauh dari gambaran sekte-sekte agama Kristen
yang justru saling berbunuhan. Mereka justru saling berguru dan saling
membanggakan guru dan muridnya. Dan yang terpenting, tidak ada satu pun
yang melecehkan pendapat guru atau muridnya. Semua sangat menghormati
bukan sekedar basa-basi, tapi langsung dari hati.
Adapun perbedaan pendapat di antara mereka memang sangat mungkin
terjadi. Bukankah dahulu di masa nabi SAW sekalipun, seringkali para
sahabat saling berbeda pendapat dalam menarik kesimpulan hukum. Kurang
apa shalihnya para sahabat itu? Tapi urusan berpendapat dalam masalah
ijtihad, seorang Umar ra bisa saja tidak sependapat dengan ijtihad nabi
Muhammad SAW, kecuali bila wahyu yang turun.
Bahkan para nabi utusan Allah, tidak luput dari perbedaan pandangan
dalam masalah hukum. Mereka acap kali punya sudut pandang yang berbeda,
meski sama-sama menerima wahyu dari Allah.
Termasuk juga para malaikat yang maksum itu, banyak diriwayatkan
mereka pun suka berbeda pendapat. Misalnya dalam kasus masuk surganya
seorang penjahat yang telah membunuh 100 nyawa. Malaikat Rahman ingin
membawanya ke surga, tapi malaikat azab ingin membawanya ke neraka.
Malaikat pun bisa berbeda pendapat sesama mereka.
Maka kalau para sahabat mungkin berbeda pendapat, para nabi sering
berbeda pendapat, bahkan para malaikat dimungkinkan berbeda pendapat,
sangat manusiawi bila para imam mazhab masing-masing punya keistimewaan
khas dalam menarik kesimpulan hukum atas jutaan butir nash-nash syariah.
Semua sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan para imam itu,
termasuk sosio-kultural mereka, kebiasaan, ketersediaan bahan baku,
bahkan hasil-hasil temuan di bidang iptek.
Tidak Ada yang Paling Shahih
Mungkin akan muncul pertanyaan, kalau mazhab-mazhab itu ada dan diakui keberadaannya, lalu manakah yang paling shahih?
Jawabnya kesemuanya shahih, dalam arti kesemuanya merupakan
hasil-hasil ijtihad luar biasa para ulama, yang sudah dijamin
keabasahannya. Boleh dibilang kesemuanya shohih dan kesemuanya benar.
Siapa pun muslim berhak bermazhab dengan salah satu dari mazhab itu,
atau mengambil satu pendapat dari sekian banyak pendapat dari
masing-masing mazhab.
Kita ibarat masuk ke sebuah Hypermarket raksasa, di mana di dalamnya
dipenuhi dengan beragam barang kebutuhan yang tentunya sudah diseleksi.
Ada berbagai macam barang dengan berbagai macam merek dan vendor yang
tersedia. Tentu saja semua sudah lulus seleksi dan uji coba.
Masing-masing tentu dengan ciri dan keistimewaan masing-masing. Tinggal
selera kita saja yang menentukannya. Dan tidak perlu kita memaksakan
selera pribadi kepada orang lain. Sebab lidah tiap orang tidak sama,
demikian juga kebutuhan masing-masing juga tidak sama.
Tapi bagaimana kalau ada mazhab yang kurang shahih atau malah sesat?
Tentu saja secara alami akan tersingkir dari panggung sejarah. Dahulu
sebenarnya bukan hanya ada 4 mazhab itu saja, tapi puluhan bahkan lebih
banyak lagi. Tapi secara seleksi alam, yang berhasil bertahan hanya 4
mazhab itu saja.
Kalau kita ibaratkan dengan hypermarket tadi, kira-kira konsumen
sudah tahu mana produk yang berkualitas dan mana yang hanya 'ecek-ecek'
saja. Segera barang yang kurang berkualitas akan tidak laku di pasaran
dan akhirnya tidak diproduksi lagi.
Tapi Bolehkah Kita Gonta-ganti Mazhab Atau Mengambil Pendapat Secara Acak?
Sebenarnya Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan kepada kita bahwa
kalau sudah bertanya kepada si A, maka jangan lagi bertanya kepada si B.
Perintah beliau adalah bertanyalah kepada orang yang sesuai dengan
keahliannya. Meski orang itu ada banyak, tidak jadi soal. Bahkan semakin
banyak alternatif jawabannya, semakin baik. Karena kita bisa melakukan
perbandingan atas semua jawaban itu.
Dengan logika hypermart di atas, sangat dibolehkan kita membeli
barang dari produsen yang berbeda, yang penting sesuai dengan kebutuhan
kita. Tidak ada kewajiban untuk hanya membeli dari satu produsen saja.
Meski juga tidak ada larangan bisa seseorang merasa cocok dengan satu
merek dan tidak mau menggantinya dengan merek lain. Maka mulai dari
pakaian, kendaraan, makanan, termasuk alat elektronik miliknya, berasal
dari satu produsen yang sama.
Maka Islam membolehkan seseorang berpegang pada satu mazhab saja,
kalau memang dia rela dan menginginkannya. Tapi jangan sampai selera
pribadinya itu dipaksakan kepada orang lain.
Bukankah perbedaan mazhab ini sering jadi faktor pemicu perpecahan?
Alih-alih meributkan perbedaan pandangan antar mazhab, kita justru
sangat berbahagia dan sangat diuntungkan dengan adanya perbedaan
pandangan dari berbagai mazhab.
Sebab dunia Islam itu sangat luas, membentang dari ujung barat Maroko
sampai ujung Timur Marauke, pastilah muncul berbagai macam perbedaan
keadaan masyarakat. Dan semua itu pasti membutuhkan jawaban syariah yang
tepat.
Dengan kekayaan khazanah intelektual warisan dari para pendiri mazhab
itu, kita dengan mudah bisa menyelesaikan banyak persoalan. Kesemuanya
sah dan benar, tinggal menyesaikannya dengan beragam tipe masalah.
Hanya mereka yang terlalu awam dan kurang punya wawasan yang baik,
yang mau-maunya berantem dengan sesama muslim hanya lantaran perbedaan
mazhab. Memang sangat kita sayangkan masih adanya kalangan yang
demikian. Misalnya, begitu dia melihat saudaranya shalat tidak sama
dengan cara shalatnya, langsung dicaci dan dimakinya, bahkan tudingan
ahli bid'ah pun bertubi-tubi dilontarkan kepadanya. Padahal ilmu yang
dimiliki hanya terbatas pada satu dua rujukan saja, namun lagak dan
gayanya seperti mufti kerajaan. Nauzu billahi min zalik.
Padahal meski seandainya di dunia ini hanya ada satu sumber nash
syariah saja, misalnya hanya ada Al-Quran saja, pastilah umat Islam
tetap berbeda pendapat dalam menarik kesimpulan hukum.
Padahal kita punya jutaan sumber nash syariah, dengan beragam
kemungkinan nilai derajat keshahihannya, dengan beragama esensi
kandungan materinya, dengan beragam redaksinya, semuanya hanya akan
sampai kepada satu titik, yaitu perbedaan pendapat.
Kalau setiap perbedaan pendapat harus ditanggapi dengan cacian,
makian, tuduhan ahli bid'ah dan seterusnya, ketahuilah bahwa semua itu
justru mencerminkan kedangkalan ilmu para pelakunya. Sama sekali tidak
menggambarkan keulamaannya.
والله أعلم بالصواب
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer