بِسْــــــــــــــــــــــمِ اَللّهِ الرّحْمن الرّحيم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ
آللّهُمَ صَلّیۓِ ۈسَلّمْ عَلۓِ سَيّدنَآ مُحَمّدْ وَ عَلۓ آلِ سَيّدنَآ مُحَمَّدٍ 


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzS2uanVye2VU7g7o1ZZVh3RMX_wuSgeXRsDUxRJ0xuhPz7pix9aVNIDS5gKXUV-dOmJtgCXiy77xHLAOg9xg-OGKvfVUfc9qkpoEJPi17D-8KAXgulECpVmnQc74Ly2-TcW6QD80sCw4/s1600/S5031281.JPGMenikahnya seorang wanita dengan wali yang bukan walinya adalah sebuah dosa dan kejahatan. Sebab adanya wali yang syar'i itu merupakan syarat mutlak dari dihalalkannya kemaluan wanita.
 
Nabi SAW bersabda, "Siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batil." (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Apabila ayah kandung seorang wanita yang hendak menikah telah wafat, maka wanita tersebut tidak bisa seenaknya sendiri mencari wali bagi dirinyasendiri. Bahkan seorang hakim diharamkan untuk memotong kompas begitu saja. Sebab daftar urutan wali setelah ayah, sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Tidak ada hak bagi siapa pun termasuk hakim untuk menikahkan wanita tersebut, selama masih ada walinya.

Di dalam kitab Kifayatul Akhyar disebutkan daftar orang-orang yang bisa menjadi wali secara urut, yaitu:

1. Ayah kandung
2. Kakek, atau ayah dari ayah
3 Saudara (kakak/ adik laki-laki) se-ayah dan se-ibu
4. Saudara (kakak/ adik laki-laki) se-ayah saja
5. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
6. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
7. Saudara laki-laki ayah
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)

Mazhab Asy-Syafi`iyyah cenderung mensyaratkan bahwa daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wawli pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan menyerahkan haknya kepada mereka.

Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang syah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan.

Dalam kondisi di mana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya, meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali.

Sehingga (sebagai contoh) bila akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri itu untuk menikahkan anak gadisnya.

Namun hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak syah dan harus dipisahkan saat itu juga.

Adapun hakim hanya berfungsi manakala seorang wanita memang sebatang kara, tidak punya sanak saudara dan famili. Atau satu-satunya yang muslim di tengah keluarga yang non muslim. Maka di situlah hakim mendapat kewenangan sebagai representasi dari pemerintah yang sah. Namun bila masih ada wali yang sah, hakim itu berdosa bila menikahkan wanita begitu saja.





أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer