Batasan Bermuamalah Dengan Non Muslim
- ..
Bekerja atau bermuamalah dengan muslim perlu dibedakan menjadi dua. Pertama, yang tidak terkait
dengan urusan ritual agama. Kedua, yang terkait dengan urusan ritual
agama.
1. Tidak Terkait Urusan Agama
Di dalam hidupnya, Rasulullah SAW banyak sekali bermuamalah dengan non muslim, dalam arti berdagang, bisnis, atau usaha usaha tertentu. Karena muamalah itu tidak terkait dengan urusan agama, atau tidak bersifat membantu ritual keagamaan, maka hal itu dibenarkan.
Misalnya ketika masih di Mekkah, orang-orang kafir yang memusuhi beliau itu justru malah banyak menitipkan harta mereka di tangan Rasulullah SAW, sebagai amanah atau barang titipan. Dan gelar Al-Amin yang disandang beliau SAW tidak pernah dicabut, walaupun Rasulullah SAW sebagai nabi selalu dihujat dan diperangi. Oleh karena itulah ketika Rasulullah SAW akhirnya hijrah ke Madinah, ditangan beliau masih banyak harta titipan milik orang-orang kafir yang harus dikembalikan terlebih dahulu.
Dalam perjalanan hijrah pun, Rasulullah SAW tetap bermualamah dengan orang kafir. Beliau dan Abu Bakar menyewa penunjuk jalan profesional, Abdullah bin Uraiqidzh, yang saat itu bukan muslim, untuk mengantarkan mereka berdua hingga tiba ke arah Madinah.
Di Madinah, ternyata Rasulullah SAW bertetangga dengan yahudi. Bahkan ketika kehabisan makanan, beliau SAW menggadaikan baju besinya kepada si Yahudi tetangganya, untuk mendapatkan pinjaman.
Kebun-kebun kurma di Khaibar yang menjadi harta rampasan perang ketika berhasil mengalahkan pihak yahudi, kemudian dikelola secara bagi hasil dengan petani kurma yang agamanya yahudi. Sebab mereka adalah petani kurma yang berpengalaman dan paling mengerti cara bertani.
1. Tidak Terkait Urusan Agama
Di dalam hidupnya, Rasulullah SAW banyak sekali bermuamalah dengan non muslim, dalam arti berdagang, bisnis, atau usaha usaha tertentu. Karena muamalah itu tidak terkait dengan urusan agama, atau tidak bersifat membantu ritual keagamaan, maka hal itu dibenarkan.
Misalnya ketika masih di Mekkah, orang-orang kafir yang memusuhi beliau itu justru malah banyak menitipkan harta mereka di tangan Rasulullah SAW, sebagai amanah atau barang titipan. Dan gelar Al-Amin yang disandang beliau SAW tidak pernah dicabut, walaupun Rasulullah SAW sebagai nabi selalu dihujat dan diperangi. Oleh karena itulah ketika Rasulullah SAW akhirnya hijrah ke Madinah, ditangan beliau masih banyak harta titipan milik orang-orang kafir yang harus dikembalikan terlebih dahulu.
Dalam perjalanan hijrah pun, Rasulullah SAW tetap bermualamah dengan orang kafir. Beliau dan Abu Bakar menyewa penunjuk jalan profesional, Abdullah bin Uraiqidzh, yang saat itu bukan muslim, untuk mengantarkan mereka berdua hingga tiba ke arah Madinah.
Di Madinah, ternyata Rasulullah SAW bertetangga dengan yahudi. Bahkan ketika kehabisan makanan, beliau SAW menggadaikan baju besinya kepada si Yahudi tetangganya, untuk mendapatkan pinjaman.
Kebun-kebun kurma di Khaibar yang menjadi harta rampasan perang ketika berhasil mengalahkan pihak yahudi, kemudian dikelola secara bagi hasil dengan petani kurma yang agamanya yahudi. Sebab mereka adalah petani kurma yang berpengalaman dan paling mengerti cara bertani.
Dan masih ada
banyak lagi bagaimana contoh muamalah Rasulullah SAW secara ekonomi
dengan pihak kafir, yang tidak terkait dengan urusan agama. Dan secara
umum, tidak ada larangan untuk melakukan muamalah seperti ini.
2. Terkait Urusan Agama
Adapun muamalah yang terkait urusan agama, terbagi menjadi tiga. Pertama, muamalah yang terkait kepentingan agama Islam. Kedua, muamlah terkait dengan kepentingan bersama. Ketiga, muamalah yang terkait dengan kepentingan agama lain.
a. Terkait Dengan Kepentingan Islam
Terkadang umat Islam terdesak kebutuhan tertentu yang tidak bisa dipenuhi oleh sesama umat Islam sendiri. Dan yang bisa memenuhinya justru pihak non muslim.
Contoh yang paling mudah adalah urusan transpotasi haji. Sejak zaman nenek moyang kita, umat Islam di Indonesia pergi haji ke tanah suci menumpang kapal milik Belanda, sebelum memiliki kapal laut sendiri. Itu berarti umat Islam bermuamalah dengan orang kafir, untuk kepentingan agama Islam, bukan untuk kepentingan agama selain Islam.
Dan di masa sekarang ini, Garuda Indonesia tidak punya pesawat sendiri untuk melayani jamaah haji, terpaksa menyewa pesawat dari banyak pihak, dimana kebanyakannya justru perusahan itu milik orang-orang di luar Islam. Dan yang disewa bukan cuma pesawatnya, tetapi juga sekalian dengan pilot dan awaknya.
Dan meski penerbangkan pesawat yang isinya calon jamaah haji semua, tetapi pilot dan awak bawaan asli pesawat itu malah orang kafir alias bukan muslim. Namun Garuda kemudian menambahi awak flight attenden dari pihak sendiri, khususnya mereka yang muslimah, bahkan berjibab, untuk menyesuaikan keadaan.
Ini juga contoh bagaimana muamalah dengan pihak non muslim, yang sangat erat kaitannya dengan kepentingan agama Islam. Dan para ulama sepakat hukumnya tentu dibolehkan, asalkan Islam tidak dirugikan, dan juga jangan sampai posisi muslim selamanya bergantung kepada orang di luar Islam.
b. Terkait Dengan Kepentingan Bersama
Kadang antara muslim dan kafir harus hidup bersama, sehingga juga punya kepentingan bersama. Dalam hal ini, asalkan kepentingan bersama itu tidak merugikan agama Islam, pada prinsipnya tidak ada larangan.
Contoh yang nyata dalam hal ini adalah perjanjian atau Piagam Madinah yang ada di masa Rasulullah SAW. Esensi dari piagam itu adalah bahwa pihak muslim dan pihak yahudi bekerja sama dalam keamanan dalam negeri di Madinah. Bila pihak muslim diperangi oleh suatu kaum, maka pihak yahudi Madinah khususnya wajib ikut membela pihak muslim. Sebaliknya, bila pihak yahudi Madinah diperangi oleh pihak lain, maka umat Islam di Madinah wajib membela mereka.
Kalau kita perhatikan, salah satu isi dari perjanjian ini bahwa umat Islam wajib membela pihak yahudi. Pasal ini menarik untuk diperhatikan, kok bisa ya umat Islam diwajibkan membela yahudi, apa hal itu tidak bertentangan dengan prinsip aqidah kita?
Jawabnya bahwa masalah ini tidak terkait dengan aqidah, tetapi terkait dengan muamalah dan kepentingan bersama. Ketika seorang muslim membela tetangganya yang sedang diperangi oleh satu pihak, maka hal itu justru merupakan kebaikan. Asalkan titik permasalahannya bukan masalah aqidah atau ritual agama.
c. Terkait Dengan Kepentingan Agama Lain
Bentuk yang ketiga adalah muamalah dengan pihak agama lain, khususnya untuk kepentingan ritual peribadatan agama mereka. Contoh mudahnya adalah seorang muslim bekerja dalam proyek pembangunan gereja, entah jadi tukang kayu, tukang batu, atau pun jadi arsitek yang membuat gambar rancangan desain gereja.
Jumhur ulama, termasuk di dalamnya mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah satu kata, bahwa bekerja di gereja itu jelas-jelas disepakati keharamannya.
Dasar keharamannya adalah cara itu termasuk ke dalam kategori membantu kemaksiatan. Karena dalam pandangan aqidah kita, ritual ibadah yang mereka lakukan itu setara dengan kemaksiatan, walau pun kita tidak boleh melarangnya.
Allah SWT berfirman : Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa tetapi jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah : 2)
Penerapan Keharaman Dalam Realita
Dalam realitas kehidupan nyata, bagaimana penerapan ketentuan hukum di atas, khususnya di masa kita sekarang ini?
Jawabannya tergantung posisi kita. Kalau posisi kita sebagai pengusaha atau pemilik perusahaan, maka sejak awal hukumnya haram untuk menerima order untuk membangun gereja, dan semua hal yang terkait dengan kepentingan langsung ritual agama mereka.
Maka hukumnya haram menerima order untuk mencetak spanduk natalan, mencetak Bible atau Injil, menjahit baju para pendeta atau biarawati, merias acara natalan, menjadi MC atau menjadi penyanyi di gereja atau momen ritual agama. Juga termasuk diharamkan menyewakan sound system buat ritual agama, bahkan termasuk pesanan katering untuk upacara ritual keagamaan.
Semua itu diharamkan, karena posisi kita adalah orang yang menentukan pilihan, dan kita punya banyak alternatif pilihan lain selain harus mengerjakan proyek gereja.
Tapi nanti hukumnya akan beda lagi bila posisi kita hanya sebagai karyawan, yang berada pada posisi tidak bisa menentukan jenis pekerjaan sendiri, kecuali dengan cara ditempatkan oleh perusahaan. Dalam posisi ini, kita tidak terlalu bisa untuk menentukan plihan. Maka tekanan nilai keharamannya tentu berbeda dengan posisi sebagai pemilik perusahaan, meski tetap sama-sama haram hukumnya.
2. Terkait Urusan Agama
Adapun muamalah yang terkait urusan agama, terbagi menjadi tiga. Pertama, muamalah yang terkait kepentingan agama Islam. Kedua, muamlah terkait dengan kepentingan bersama. Ketiga, muamalah yang terkait dengan kepentingan agama lain.
a. Terkait Dengan Kepentingan Islam
Terkadang umat Islam terdesak kebutuhan tertentu yang tidak bisa dipenuhi oleh sesama umat Islam sendiri. Dan yang bisa memenuhinya justru pihak non muslim.
Contoh yang paling mudah adalah urusan transpotasi haji. Sejak zaman nenek moyang kita, umat Islam di Indonesia pergi haji ke tanah suci menumpang kapal milik Belanda, sebelum memiliki kapal laut sendiri. Itu berarti umat Islam bermuamalah dengan orang kafir, untuk kepentingan agama Islam, bukan untuk kepentingan agama selain Islam.
Dan di masa sekarang ini, Garuda Indonesia tidak punya pesawat sendiri untuk melayani jamaah haji, terpaksa menyewa pesawat dari banyak pihak, dimana kebanyakannya justru perusahan itu milik orang-orang di luar Islam. Dan yang disewa bukan cuma pesawatnya, tetapi juga sekalian dengan pilot dan awaknya.
Dan meski penerbangkan pesawat yang isinya calon jamaah haji semua, tetapi pilot dan awak bawaan asli pesawat itu malah orang kafir alias bukan muslim. Namun Garuda kemudian menambahi awak flight attenden dari pihak sendiri, khususnya mereka yang muslimah, bahkan berjibab, untuk menyesuaikan keadaan.
Ini juga contoh bagaimana muamalah dengan pihak non muslim, yang sangat erat kaitannya dengan kepentingan agama Islam. Dan para ulama sepakat hukumnya tentu dibolehkan, asalkan Islam tidak dirugikan, dan juga jangan sampai posisi muslim selamanya bergantung kepada orang di luar Islam.
b. Terkait Dengan Kepentingan Bersama
Kadang antara muslim dan kafir harus hidup bersama, sehingga juga punya kepentingan bersama. Dalam hal ini, asalkan kepentingan bersama itu tidak merugikan agama Islam, pada prinsipnya tidak ada larangan.
Contoh yang nyata dalam hal ini adalah perjanjian atau Piagam Madinah yang ada di masa Rasulullah SAW. Esensi dari piagam itu adalah bahwa pihak muslim dan pihak yahudi bekerja sama dalam keamanan dalam negeri di Madinah. Bila pihak muslim diperangi oleh suatu kaum, maka pihak yahudi Madinah khususnya wajib ikut membela pihak muslim. Sebaliknya, bila pihak yahudi Madinah diperangi oleh pihak lain, maka umat Islam di Madinah wajib membela mereka.
Kalau kita perhatikan, salah satu isi dari perjanjian ini bahwa umat Islam wajib membela pihak yahudi. Pasal ini menarik untuk diperhatikan, kok bisa ya umat Islam diwajibkan membela yahudi, apa hal itu tidak bertentangan dengan prinsip aqidah kita?
Jawabnya bahwa masalah ini tidak terkait dengan aqidah, tetapi terkait dengan muamalah dan kepentingan bersama. Ketika seorang muslim membela tetangganya yang sedang diperangi oleh satu pihak, maka hal itu justru merupakan kebaikan. Asalkan titik permasalahannya bukan masalah aqidah atau ritual agama.
c. Terkait Dengan Kepentingan Agama Lain
Bentuk yang ketiga adalah muamalah dengan pihak agama lain, khususnya untuk kepentingan ritual peribadatan agama mereka. Contoh mudahnya adalah seorang muslim bekerja dalam proyek pembangunan gereja, entah jadi tukang kayu, tukang batu, atau pun jadi arsitek yang membuat gambar rancangan desain gereja.
Jumhur ulama, termasuk di dalamnya mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah satu kata, bahwa bekerja di gereja itu jelas-jelas disepakati keharamannya.
Dasar keharamannya adalah cara itu termasuk ke dalam kategori membantu kemaksiatan. Karena dalam pandangan aqidah kita, ritual ibadah yang mereka lakukan itu setara dengan kemaksiatan, walau pun kita tidak boleh melarangnya.
Allah SWT berfirman : Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa tetapi jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah : 2)
Penerapan Keharaman Dalam Realita
Dalam realitas kehidupan nyata, bagaimana penerapan ketentuan hukum di atas, khususnya di masa kita sekarang ini?
Jawabannya tergantung posisi kita. Kalau posisi kita sebagai pengusaha atau pemilik perusahaan, maka sejak awal hukumnya haram untuk menerima order untuk membangun gereja, dan semua hal yang terkait dengan kepentingan langsung ritual agama mereka.
Maka hukumnya haram menerima order untuk mencetak spanduk natalan, mencetak Bible atau Injil, menjahit baju para pendeta atau biarawati, merias acara natalan, menjadi MC atau menjadi penyanyi di gereja atau momen ritual agama. Juga termasuk diharamkan menyewakan sound system buat ritual agama, bahkan termasuk pesanan katering untuk upacara ritual keagamaan.
Semua itu diharamkan, karena posisi kita adalah orang yang menentukan pilihan, dan kita punya banyak alternatif pilihan lain selain harus mengerjakan proyek gereja.
Tapi nanti hukumnya akan beda lagi bila posisi kita hanya sebagai karyawan, yang berada pada posisi tidak bisa menentukan jenis pekerjaan sendiri, kecuali dengan cara ditempatkan oleh perusahaan. Dalam posisi ini, kita tidak terlalu bisa untuk menentukan plihan. Maka tekanan nilai keharamannya tentu berbeda dengan posisi sebagai pemilik perusahaan, meski tetap sama-sama haram hukumnya.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer