Antara suami dan orang tua kandung, sebenarnya, kedudukannya tidak bisa dipertentangkan. Artinya, jalur ketaatan kita pada suami, berbeda dengan jalur ketaatan kita pada orang tua, ketaatan kita pada suami ada porsinya tersendiri, demikian pula kepada orang tua. Jadi tidak bisa dipertentangkan, dan tak bisa dicampur aduk.

Bila sampai terjadi, maka akan terjadi kedzaliman (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya): taat pada suami sampai melalaikan ketaatan kita pada orang tua  atau sebaliknya. Kalau terjadi perbedaan pendapat, misalnya, antara suami dan orang tua kandung dalam satu persoalan keluarga, maka harus bisa memilah-milah mana persoalan yang menjadi otonomi keluarga (antara suami dan istri), dan mana persoalan yang sekiranya orang tua mempunyai wewenang untuk ikut campur.

Misalkan, orang tua meminta anaknya tidak menuruti suatu permintaan suami, ini berarti orang tua sudah melanggar kewenangannya (sebagai orang tua). Sebaliknya, bila suami meminta istri jangan mengirim uang penghasilan si istri sendiri pada orang tuanya (padahal beliau membutuhkan), ini juga pelanggaran wewenang.

Dalam menghadapi kasus-kasus seperti itu, seorang istri harus pandai-pandai mengambil kebijakan, mana yang harus dilakukan, sehingga bisa menjaga kemaslahatan seluruh keluarga. Kuncinya adalah kemaslahatan.

Terdapat satu kaidah penting: "laa thaa'ata li makhluuqin fii ma'shiatil khaaliq" ([siapapun] tak boleh menaati perintah sesamanya untuk melakukan maksiat pada Tuhan). Jadi misalkan seorang suami meminta istrinya untuk melanggar hak-hak orang tuanya, maka si istri harus tidak menuruti perintah itu, karena perintah itu menjerumuskan istri pada kemaksiatan. Demikian pula sebaliknya, bila datang perintah dari orang tua kepada si istri untuk membangkang pada suaminya, hal semacam ini jangan sampai dilaksanakan oleh istri. Si istri harus bijak, tegas, dan adil, untuk meluruskan perintah itu. Tentunya, penolakan istri harus dengan sikap yang sopan 

Mengenai gaji atau penghasilan kerja seorang istri, hal tersebut sepenuhnya menjadi hak istri, ia berhak menyisihkan sebagian penghasilannya itu untuk orang tuanya dan saudara-saudaranya. Namun demikian, hal ini tentu jangan sampai mengesampingkan hak-hak keluarga, terutama putra-putri yang juga membutuhkan biaya sekolah, dll. Karena bila suami sudah bekerja kemudian istri juga ikut bekerja, (maka untuk adilnya) baik suami dan istri harus mengutamakan perhatian kesejahteraan finansial keluarga. Baru, setelah itu jika ada kelebihan rizki, boleh menyalurkannya untuk orang tua dan saudara-saudara lain (walau tanpa sepengetahuan suami, tak apa-apa).


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer